Senin, 05 Desember 2011

makalah budaya

DAFTAR ISI
HALAMAN
BAB I              : PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG………………………………………………
  2. TUJUAN…………………………………………………………….
  3. SASARAN…………………………………………………………..
BAB II             : PERMASALAHAN
  1. KEKUATAN…………………………………………………………..
  2. KELEMAHAN…………………………………………………………
  3. PELUANG……………………………………………………………..
  4. TANTANGAN…………………………………………………………
BAB III            : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KESIMPULAN…………………………………………………………….
REKOMENDASI…………………………………………………………..
REFERENSI………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
  1. A. Latar Belakang
Ada sebuah kisah nyata. Kisah ini diceritakan oleh James Gwee ketika menjawab pertanyaan seseorang yang merasa langkahnya tidak mendapat dukungan keluarga dan lingkungannya.
Ada sepasang kakak beradik ketika dewasa ternyata menjalani kehidupan yang sangat bertolak belakang. Sang kakak adalah seorang pengusaha sukses, bisnisnya berkembang pesat, kesibukannya tiada henti, sering diminta berbicara di berbagai forum, dan sangat dihormati oleh banyak kalangan.
Ketika ditanya apa resep kesuksesannya, dia menjawab, “Saya berasal dari keluarga miskin, orang tua saya bercerai ketika saya masih kecil, ayah saya seorang pemabuk, penjudi, perilakunya kasar, suka memukul, malas bekerja. Ibu saya lah yang menghidupi saya dan adik. Nah, saya tidak ingin mengalami peristiwa itu lagi. Saya ingin kaya, saya benci pemabuk, dan saya menginginkan keluarga yang bahagia.”
Sebaliknya, kehidupan sang adik sungguh tragis. Dia menjadi pemabuk, suka judi, madat, malas, tanpa harapan masa depan. Ketika ditanya mengapa dia melakukan ini semua, jawabnya, “Saya berasal dari keluarga miskin, orang tua saya bercerai ketika saya masih kecil, ayah saya seorang pemabuk, penjudi, perilakunya kasar, suka memukul, malas bekerja. Ibu saya lah yang menghidupi kami.”
“Jadi apa yang bisa saya harapkan dari latar belakang keluarga yang berantakan ini. Saya menjadi berantakan karena nasib saya memang sudah begini,” tambah sang adik.
Menarik. Dengan latar belakang yang sama persis hasilnya bisa sangat berbeda. Cara pandang berbeda ternyata bisa menghasilkan output yang bertolak belakang. Semua terserah kepada masing-masing orang bagaimana mesti menyikapi latar belakang yang dimilikinya. Mario Teguh bilang, keberhasilan atau kegagalan karena sikap mental, bukan karena kapasitas mental. Berapa banyak orang yang punya pendidikan tinggi tapi bermental pengemis. Sebaliknya tidak sedikit yang pendidikannya pas-pasan tapi jadi juragan besar.
Yang menjadi pertanyaan, kalau kita sudah bisa menentukan cara pandang positif, bagaimana cara mempraktekkan sehingga bisa menjadi kenyataan?
“Pilih lah lingkungan yang pas untuk mendukung cara pandang kita. Ibaratnya kalau ingin berhenti merokok ya jauhilah para perokok,” kata orang bijak.
Kalau ingin jadi pengusaha sukses ya masuklah komunitas pengusaha. Kalau ingin jadi karyawan cemerlang, ikutlah gathering-gathering yang diadakan para General Manager.
Masih ingat dengan sinetron tempo doeloe yang berjudul ‘Losmen’?
Sinetron itu ditayangkan di TVRI tahun 80-an. ‘Losmen’ adalah sinetron yang kualitasnya diakui sampai sekarang. Bisa dikatakan tayangan itu cukup melegenda sampai sekarang. Para bintangnya pun juga tidak hilang ditelan zaman. Sebut saja Mathias Muchus, Eeng Saptahadi, Dewi Yull, Ade Irawan, Ida Leman, Mang Udel yang mahir main ukelele.
Kwalitas peran mereka tidak diragukan lagi. Mereka bermain dengan sangat bagus. Meski alur ceritanya sedikit muter-muter tapi kita cukup puas melihat aksi
para pemainnya karena mereka memang berlatar belakang seni peran. Jangan dibandingkan dengan kebanyakan sinetron sekarang. Ibarat membandingkan mobil mewah terbaru dengan bajaj.
Yang cukup menarik di sini adalah mang Udel. Pria pensiunan ini benar-benar mengidap post power syndrome. Sebelum pensiun mang Udel adalah seorang pejabat di sebuah instansi ternama. Kalau berangkat ke kantor tas selalu dibawakan sopir, pintu mobil dibukakan. Begitu pula kalau turun dari mobil, pintu juga dibukakan dan tas dibawakan sampai di meja kerja. Semua karyawan menghormati dan memujanya. Semua orang tampak ramah di hadapannya.
Tapi begitu usia pensiun menghampiri, dia tidak mampu mengelak. Usia tidak bisa ditahan dengan kekuatan apapun. Semua kenikmatan yang selama ini diperoleh satu persatu diminta kembali dan harus dikembalikan kepada lembaga yang selama ini dipimpinnya. Sopir pribadi yang selama ini setia menemani kini beralih menemani pejabat baru yang menggantikannya. Wajah-wajah ramah karyawan tidak lagi dijumpainya. Tas yang selama ini hanya mengenal tangan sang sopir kini jadi akrab dengan tangannya. Semua pujian tidak pernah lagi terdengar. Mobil yang begitu nikmat kini sudah dipakai oleh pejabat pengganti. Hidupnya kini sepi.
Perubahan yang cukup drastis ini ternyata tidak siap untuk dihadapi. Mang Udel tidak kuasa menghadapi realitas. Dia mencoba tetap dengan kehidupan “pejabat”nya. Tiap pagi dia pergi dengan busana kerja yang sama dengan yang dipakai ketika masih jadi pimpinan. Kebiasaannya yang suka memerintah orang tidak bisa hilang dari perilakunya. Tapi kini tidak ada orang yang mau diperintah. Jadinya dia makin stres dan tertekan. Makin lama hidupnya makin terpuruk.Sindrom ‘mang Udel’ ternyata dengan mudah kita jumpai di sekitar kita. Beberapa tetangga saya ternyata mempunyai kebiasaan mirip mang Udel. Pak Sastro (bukan nama sebenarnya) dulu adalah manajer lapangan perusahaan kontraktor. Anak buahnya banyak. Banyak perusahaan rekanan yang sangat ramah kepadanya. Kata-katanya cukup bertuah. Satu set kendaraan disediakan untuknya.
Tetapi ketika perusahaannya ambruk oleh krismon 1998 dia harus menerima kenyataan dipensiun dini. Tiba-tiba dia harus di rumah ketika pagi hari, tanpa mobil tanpa sopir. Mobil yang selama ini disediakan untuknya harus dikembalikan. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Keadaan ini membuatnya sangat malu. Dan dia pun memutuskan mengurung diri di rumah bertahun-tahun supaya masih ada kesan tetap ngantor. Emosinya berubah cukup drastis. Rumah tangganya pun sangat terpengaruh.
Ada lagi pak Silo (bukan nama sebenarnya). Sebelum krismon dia adalah “penghubung” antara ekportir dengan pejabat pelabuhan. Sepak terjangnya yang licin dalam mengurus dokumen membuatnya sering dipakai oleh perusahaan yang enggak mau repot urusan. Dan ketika dia harus keluar kerja lantara kantornya tutup, kebiasaannya ternyata sangat mewarnai di kehidupan bertetangga. Gayanya yang bak preman memang sering cepat “menyelesaikan” urusan meski ditempuh dengan jalan “terobosan”.
Bu Siska (bukan nama sebenarnya) juga sama. Dulu dia memegang jabatan cukup tinggi di kantornya sehingga sering memerintah orang lain. Ketika masuk kehidupan realitas kebiasannya sulit hilang. Beberapa tetangga sering mengeluh karena diperintah seperti anak buahnya saja. Bu Siska hanya mau bergaul dengan tetangga “sekelas” dan menyepelekan yang lain.
Sedangkan bu Susi (juga bukan nama sebenarnya), meski sampai sekarang masih ngantor tapi dia terbawa oleh posisi suaminya. “Ruh” Dharma Wanita (kalau
suaminya jadi pejabat otomatis dia juga jadi pimpinan) sangat mengendap di benaknya. Tidak boleh ada orang yang menolak titahnya. Semua orang yang disuruh harus bersedia menuruti. Akibatnya sering terjadi benturan dengan tetangga.
Masih ada beberapa tetangga saya yang cukup menarik diamati. Benang merah yang bisa ditarik adalah apakah kita masih memberlakukan mindset lama ketika kita sudah pindah “kuadran”? Ketika kita sudah memutuskan untuk melayani orang lain (jadi pengusaha) apakah kebiasaan minta dilayani masih melekat pada diri kita?
Ada beberapa member TDA lho yang sebenarnya masih pakai mindset lama di “kehidupan” yang baru.
Setelah mencapai puncak kejaan batik pada dasawarsa 1970-1980, pada era 1990-an dunia batik kita dilanda pengaruh munculnya batik printing atau tekstil dengan motif batik, yang berakibat banyaknya pengrajin batik tulis dan cap mengurangi kegiatannya ataupun menutup perusahaannya. Keadaan seperti ini diperparah dengan terjadinya krisis ekonomi ditahun 1997/1998. Batik printing terus berkembang menggerogoti pasar batik tradisional, dan bersamaan dengan itu tumbuh pesat permintaan batik painting, khususnya yang diperjual belikan di Bali. Bom Bali I pada tahun 2002 dan terbakarnya Pasar Tanah Abang di tahun 2003, semakin memperparah keadaan industri batik kita.
Dalam persaingan global, indentitas batik sebagai produk Indonesia, mulai disaingi oleh Malaysia, dan dengan agresif melindungi produk batiknya melalui HKI. Di Indonesia protespun bermunculan, seperti halnya dengan kasus tempe dan reog Ponorogo. Tetapi sampai sekarang kita seperti kehilangan arah, kemana dan bagaimana batik sebagai hasil ekpresi budaya tradisional akan dilindungi. Rezim perlindungan HKI yang berlaku sekarang ini, sukar untuk melindungi hasil ekspresi tradisional maupun budaya. Dalam perlindungan HKI, sebenarnya ada komponen-komponen lain seperti Hak Moral, Hak Kebudayaan maupun Hak atas Indikasi Asal. Masalahnya bagi kita, instansi pemerintah mana yang akan menjadi focal point?
TPT Tekstil dan Produk Tekstil, selalu menjadi primadona ekspor kita. Saat ini pemerintah menggulirkan program Restrukturisasi Industri Tekstil secara intensif dan ekstensif. Tetapi apakah industri batik dimasukkan kedalam skema tersebut, atau apakah industri batik dapat memanfaatkan program tersebut? Pemerintahpun telah mengembangkan program KUR Kredit Usaha Rakyat, tetapi sejauh mana usaha pengrajin batik memanfaatkan fasilitas ini?
BATIK : BARANG atau PRODUK SENI
Sewaktu batik masih didominasi oleh batik tulis, batik menempati kedudukan yang penting didalam masyarakat. Motif batik bukan hanya sekedar hasil karya seorang seniman batik, melainkan merupakan karya yang mempunyai nilai-nilai filosofis yang sangat mendalam. Batik waktu itu tidak terlepas dari kehidupan feodal dengan berbagai simbol-simbol dalam kehidupan. Batikpun menjadi hasil karya seni budaya. Kemudian batik meluas dan memasuki kehidupan masyarakat luas, sehingga bagi generasi berikutnya menjadi bagian dari warisan tradisional dan merupakan keharusan memiliki atau memakainya. Meluasnya pemakai atau konsumen batik mendorong pengusaha untuk dapat menyediakan batik dengan berbagai tingkat kwalitas dan harga. Perkembangan jenis batik ini dipengaruhi juga oleh perkembangan jenis bahan yang tersedia di pasar serta teknologi.
Apakah semua jenis dan karya batik dapat disebut sebagai karya seni? Siapa penciptanya? Desainer atau pembatik?
Mari kita bandingkan dengan seni lukis.
Kita mengenal hasil karya para pelukis kenamaan di Indonesia maupun luar negeri. Sebut saja Raden Saleh, Basuki Abdullah, Affandi, Sudjojono, Joko Pekik, Srihadi, Popo Iskandar, Jehan, Huang Fong, dll. Mereka dikenal luas dan lukisannya menjadi koleksi museum, perusahaan maupun perorangan. Lukisan mereka sudah menjadi aset yang mempunyai nilai jual sangat tinggi. Tatapi banyak juga pelukis-pelukis yang dikenal oleh lingkungan tertentu, dengan nilai yang juga cukup tinggi. Untuk sebuah lukisan mereka hanya melukis sekali. Ada juga pelukis yang membuat lukisan terutama diperuntukan bagi dekorasi rumah, hotel, rumah makan, dan tempat umum lainnya. Kadang-kadang mereka membuat beberapa lukisan yang sama atau serupa. Kalau dilihat dari segi material, selain kanvas yang bertambah baik mutunya, cat minyakpun mempunyai spektrum kualitas dan harga yang lebar. Dengan perkembangan teknologi muncul cat acrylic yang lebih mudah prosesnya dan mempunyai warna yang lebih cerah. Kemudian kita kenal juga lukisan dengan mempergunakan cat air. Malah secara ekstrim juga dipergunakan material lain seperti bulu ayam, pelepah pisang, dan sederetan material lainnya. Lukisan-lukisan yang terkenal dari pelukis ternama, sering juga dibuat reproduksi yang jumlahnya ratusan mungkin ribuan (tentu dengan seijin pemegang hak ciptanya). Kita mengenal juga produk litografi yang dicetak dalam jumlah terbatas, dan selalu diketahui oleh pembelinya. Keberadaan komputer juga membawa dunia seni lukis kedalam era baru digital graphic painting
Ini yang terjadi dalam dunia seni lukis dan apakah dalam batik sebagai produk seni kita bisa memilah-milah serupa ini?
Kebanyakan batik diperdagangkan seperti barang biasa, mungkin sebagai tekstil biasa. Kita tidak pernah mengetahui sebuah motif (corak/desain) tertentu telah dibuat dalam berapa helai batik. Para penggemar dan pencinta batik mungkin dapat mengidentifikasikan sebuah batik dengan desainernya, atau dengan asal daerah batik tersebut. Dengan perkembangan material dan teknologi, perkembangan batikpun menjadi sangat beragam, seperti batik tulis halus dan kasar, batik cap, sablon (screening) dan printing. Atau kombinasi dari proses-proses tersebut. Bahan dasarnya selain katun (mori), juga ada sutera, rayon, dan polyester yang berupa tekstil, ada juga hasil tenun ATBM dengan memasukan motif tertentu.
Ada juga tenun ATBM yang berkembang sedemikian sehingga hasilnya menyerupai motif batik. Kita temui juga tenun ATBM bermotif yang ditambah hanya beberapa garis dan motif batik sebagai hasil proses pembatikan. Kita jumpai juga kombinasi antara tenun dan batik yang disebut banun. Mungkin ada yang lain lagi yang belum tersentuh oleh makalah ini. Pemanfaatan komputer untuk disain motif sudah dilakukan oleh beberapa disainer batik, termasuk oleh Menteri Ristek. Pola dan motifpun mengikuti dinamika konsumen baik nasional maupun internasional, sebagai batik dengan motif kontemporer. Apalagi pada jenis kain batik yang dipergunakan untuk keperluan rumah tangga seperti bed-cover, muncul batik bermotif logo kesebelasan nasional sepak bola Italia, Jerman, Inggris, Spanyol dan yang lain, atupun logo klub-klub terkenal. Produsen peralatan olah raga Addidas telah mengeluarkan seri sepatu, tas dan jaket dengan motif batik.
Inilah keragaman yang bersumber dari batik. Tapi pertanyaannya apakah kesemua ini dinamakan batik? Apakah konsumen dapat mengenal dan membedakannya, mana yang batik dan mana yang bukan? Para ahli dan pakarlah yang harus dapat merumuskannya.
Yayasan Batik Indonesia, Departemen Perindustrian, Departemen Pariwisata dan Kebudayaan(?), sedang mempersiapkan suatu cara untuk melindungi konsumen, dengan memberikan mark pada batik tulis, cap atau kombinasinya. Upaya ini tentu terbatas hanya pada prosesnya. Bagaimana halnya dengan hasil sablon dan printing?
INDUSTRI BATIK
Kalau kita ingin membahas industri batik secara utuh, maka harus melihatnya dari mulai bahan baku sampai akhirnya kekonsumen. Pada kesempatan ini mungkin kita batasi pada masalah produksi dan pemasaran.
Batik dalam pengertian yang berkembang di kita dapat dimasukkan kedalam dua katagori, yaitu kerajinan dan TPT. Tetapi kalau kita membahas TPT secara global, biasanya produk batik sudah masuk kedalamnya. TPT selalu menjadi andalan dan primadona ekspor industri kita. Data-data dari Departemen Perindustrian menunjukan bahwa pada tahun 2006 tenaga kerja pada industri TPT sebanyak 1,2 juta orang, belum termasuk industri TPT skala kecil dan rumah tangga, dengan nilai ekspor US$ 9.45 milyar dan meningkat menjadi US$ 10,03 milyar pada tahun 2007. Salah satu kendala dalam industri TPT, ialah usia permesinan yang sudah tua, rata-rata diatas 20 tahun. Dengan Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri TPT, diperkirakan pada tahun 2009 ekspor TPT bisa mencapai US$ 11,80 milyar dengan surplus sekitar US$ 5 milyar, dan penyerapan tenaga kerja langsung sebanyak 1,62 juta atau keseluruhannya 3 juta orang, sudah termasuk tenaga kerja yang tidak langsung.
Industri batik pada tahun 2006 berjumlah 48.287 unit usaha tersebar di 17 propinsi, dan menyerap tenaga kerja sebanyak 792.300 orang. Sedangkan nilai produksi mencapai Rp. 2,90 triliun dan nilai ekspor US$ 110 juta. Sedang beberapa data menunjukan bahwa Jawa Tengah memberikan kontribusi ekspor sekitar 30-35% dari ekspor nasional.
Industri batik saat ini merupakan industri kecil dan menengah, terkadang dikombinasi dengan industri rumah tangga. Tenaga kerja langsung yang terlibat proses pembatikan itulah yang sering disebut dengan pengrajin. Produktivitas produksi batik ini terutama batik tulis sangat rendah, kadang-kadang untuk menyelesaikan satu lembar kain batik halus memerlukan waktu 4-6 bulan. Tetapi untuk menyelesaikan batik tulis kasar dengan motif sederhana, diperlukan waktu hanya satu minggu. Dengan adanya persaingan dari proses sablon dan printing, maka jumlah pengrajin batik ini semakin berkurang, dan yang berkembang adalah para peng-disain batik halus disisi high-end product. Kombinasi tenun halus bermotif dengan batik tulis, merupakan inovasi yang memukau.
Pasar batik yang semakin melebar, serta dinamika selera masyarakat maka, perubahan dan perkembangan motif harus dilakukan secara cepat dan dalam waktu yang singkat. Siklus disain akan semakin pendek, dan pasar harus segera dibanjiri untuk mendapatkan pengembalian investasi. Perusahaan-perusahaan besar, juga dalam TPT, akan berorientasi kepada budaya kontemporer barat, yang sangat, ialah pandangan ingin yang baru, lebih besar atau lebih bagus. Oleh karenanya perusahaan akan menerapkan strategi planned obsolescence atau menjadi ketinggalan zaman atau tidak up to date, kedalam poduknya. Strategi new atau improved dilakukan.
Hal inilah yang akan mendorong proses sablon dan printing motif batik terus berkembang dengan pesat. Pertanyaannya adalah apakah sablon dan printing ini dapat disebut sebagi batik?
Disisi lain perkembangan dan pemanfaatan teknologi komputer untuk mendisain motif baru yang sudah mulai diterapkan, pada saatnya akan diikuti oleh proses penggambaran secara langsung kedalam kain, dengan memanfaatkan printer besar atau plotter. Ditambah lagi dengan sudah mulai dimanfaatkannya canting listrik (apalagi kalau minyak tanah semakin langka atau hilang), perkembangan berikutnya yang dapat dibayangkan adalah pemakaian plotter yang langsung memakai malam dan dilakukan sekaligus dengan beberapa canting secara bersamaan. Hal ini dapat terjadi kalau yang menjadi acuan hanya produktivitas. Dan ini sangat mungkin terjadi! Tetapi apakah dapat dikatagorikan sebagai batik?
Jadi pilihannya adalah, bagaimana menempatkan batik tulis khususnya sebagai branded produk, atau sebagai produk seni dari segala aspeknya, seperti perlindungan HKI, perlindungan hak budaya, perdagangan dan tidak diberlakukan sebagai barang biasa.
Pengalaman yang pahit Bom Bali I dan terbakarnya Pasar Tanah Abang, yang sering disebut dengan jalur sutera, mengharuskan adanya terobosan perubahan sistem perdagangan. Sistim konsinyasi yang dilakukan oleh toko-toko besar atau pusat perbelanjaan, sangat merugikan para pengrajin. Demikian juga halnya dengan tengkulak atau pengepul yang baru membayar setelah barangnya terjual. Beragam pameran yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta di berbagai kota besar, memberikan dampak positif terhadap para pengrajin, selain ongkosnya masih terjangkau, dan yang paling utama ialah bisa mendapatkan uang tunai dari penjualan batiknya. Selain itu berbagai cara penjualan on-line melalui internet telah berkembang, tetapi keefektifan serta hasilnya belum dapat saya ketahui pada saat ini.
MASALAH DAN MASA DEPAN
Dengan perkembangan perekonomian sekarang ini, maka masalah yang paling menonjol adalah masalah pendanaan. Kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok akan mendongkrak harga barang-barang lainnya. Pengrajin batik sudah tentu tidak termasuk mereka yang akan menerima BLT Plus. Dengan meningkatnya pengeluaran untuk kebutuhan pokok, tidak dapat dipungkiri lagi akan mengakibatkan menurunnya ketersediaan dana untuk modal usaha. Pemerintah baru saja meluncurkan program KUR Kredit Usaha Mikro, yang ditujukan untuk pengusaha mikro dengan pagu pinjaman sebesar Rp 5 juta, sebagai perluasan dari KUR sebelumnya dengan pagu kredit maksimum Rp 500 juta. Program KUR yang pertama dikaitkan dengan meningkatnya harga kedelai di pasar lokal, dan penyaluran kreditnya akan difokuskan pada beberapa sektor usaha, yakni pertanian, kelautan, koperasi, kehutanan, perindustrian, dan perdagangan. KUR merupakan kredit KUKM yang dijamin oleh pemerintah sebesar 70% dan oleh perbankan 30 %, dengan bunga maksimum 16% per tahun, dan tidak diperlukan agunan, karena hanya dilihat dari kelayakan usahanya saja.
Stagnasi dalam pengadaan permesinan dalam industri TPT sejak tahun 1990an, mengakibatkan kwalitas dan produktivitas industri TPT kita menjadi kalah bersaing di pasar global, maupun pasar dalam negeri. Pemerintah sudah meluncurkan program baru yang disebut Program Restrukturisasi Mesin/Peralatan Industri TPT. Ada dua Skim yang ditawarkan. Skim I, bagi mereka yang telah membeli mesin-mesin baru dengan dana perbankan, bisa segera mengajukan kepada Pemerintah untuk mengikuti program ini, dan mendapatkan penggantian (reimbursement) dari pemerintah sebesar 10% dengan plafon maksimum Rp 5 milyar. Kalau mesin baru tersebut hasil produksi dalam negeri, maka tingkat penggantiannya menjadi 15%. Skim II, adalah pinjaman dengan suku bunga rendah yaitu 7%/tahun, dengan masa pinjaman maksimum 5 tahun. Pola ini lebih menguntungkan bagi pengusaha, karena porsi pengusaha (self-financing) hanya 20%, 70% porsi Departemen Perindustrian, dan LPP sebesar 10%. Skim II ini dilaksanakan dengan besaran antara Rp 100 juta sampai Rp 5 milyar. Selama ini dengan program restrukturisasi mesin/peralatan, telah terjadi peningkatan kapasitas produksi 10-15%, peningkatan produktivitas 16-25%, dan effisiensi penggunaan energi 6-18%.
Industri batik, seyogyanya dapat mempelajari pemanfaatan kedua program tersebut agar bisa mengatasi kendala permodalan dan pembaruan permesinan.
Sekarang dan masa mendatang Brand, Standards and Quality telah dan akan menjadi ciri utama globalisasi yang berlaku dimana saja. Dalam menghadapi persaingan global ini, mau tidak mau industri batik harus memperhatikan ketiga hal tersebut diatas. Pengamanan supply bahan atau supply chain harus menjadi perhatian, agar tidak terjadi stagnasi dalam proses produksi.
Sedang dalam menghadapi pesaing utama dalam TPT, yaitu China, maka rasionalisasi biaya produksi dengan berbagai inovasi (cost innovation) perlu dilakukan. Dan akhirnya batik sebagai produk kerajinan tradisional dan budaya, menghadapi pesaing utama dan yang terbesar, ialah kita sendiri.


  1. B. Tujuan
Tujuan dilestarikan budaya batik :
  1. Agar generasi muda dapatn melestarikan kembali dijaman yang akan datang atau modern.
  2. Supaya dapat dipasarkan di Negara-negara luar biar tradisi Indonesia terkenal sampai mancanegara.
  3. Untuk mengenal lebih banyak ragam corak batik seluruh Indonesia
  4. Agar dijaman modern nantinya dapat mengenal budaya tradisional khas jawa
C. Sasaran
Untuk melestarikan batik Indonesia dan melindunginya secara hukum dari pemanfaatan oleh pihak lain di dalam maupun luar negeri, memperkenalkan identitas batik Indonesia ke pasar dunia
Bab II
Permasalahan
Dunia batik kita diwarnai dengan berbagai gejolak, antara lain yang berkaitan dengan HKI maupun yang berhubungan dengan lingkup perbatikan sendiri, seperti tekstil motif batik (printing). Tidak adanya kejelasan penanganan masalah HKI, menimbulkan interprestasi yang beragam dikalangan masyarakat dan pemerintah (daerah). Kreatifitas, khususnya didalam bahan, desain corak dan motif, terpengaruh juga dengan dinamika pasar global. Dengan pekembangan teknologi, bentuk pasar batikpun mulai berubah, selain pasar fisik muncul juga pasar on-line. Sedangkan disisi produksi selain masalah produktifitas dan tenaga kerja, berkembang penggabungan atau mungkin persenyawaan (chemistry) antara tenun, printing dan pembatikan. Masa depan batik akan sangat ditentukan dengan pendekatan branding dan pengamanan supply chain, kalau ingin bertahan didunia global. Kota batik di Pekalongan, bukan Jogja eh bukan Solo…. (SBY, Slank). Bahkan, grup musik Slank pun menguatkan citra Pekalongan sebagai kota batik. Namun, melihat pemberitaan mengenai industri batik di sana yang mengalami kelesuan (Kompas, 27/3) bisa jadi lagu tersebut akan tak relevan lagi jika kondisi seperti saat ini dibiarkan. Kelesuan industri batik yang berbuntut pada terhentinya proses produksi untuk sementara waktu jelas merugikan banyak pihak.
Tak hanya penikmat batik, pengusaha dan terlebih para pekerja perajin batik yang jumlahnya ratusan dari 14 kelurahan yang ada di sana pastinya juga mengalami kerugian, terancam dan terpukul sisi perekonomiannya. Kehidupan dari membatik yang mereka andalkan sebagai satu-satunya penopang hidup terancam hilang dan hal tersebut tentunya patut menjadi perhatian kita bersama untuk dicarikan solusinya.
Untuk mengatasi permasalahan, tentu kita harus menguraikan satu per satu benang kusut akar permasalahan yang ada. Salah satu hal yang bisa diatasi dan hal tersebut bisa dilakukan secara mandiri oleh para perajin batik adalah dengan menekan beban produksi yang sejauh ini kian merangkak naik. Salah satu kebutuhan bahan baku yang naik tersebut adalah pewarna batik yang harganya dari Rp 26.000 menjadi Rp 48.000, atau hampir dua kali lipatnya .
Permasalahan ini bisa diuraikan, meski tidak secara komprehensif dapat menyelesaikan semua permasalahan, namun paling tidak memperingan beban produksi. Solusi yang bisa ditempuh adalah mengganti bahan baku pewarna batik dengan pewarna batik alami.
Selama ini, sebagian perajin batik masih menggunakan pewarna sintetis impor. Padahal, selain harganya cukup mahal, penggunaannya juga mengancam kehidupan manusia karena bersifat karsinogenik yang cukup merusak lingkungan. Belum lagi pembuangan limbahnya yang tentu saja sangat berbahaya. Padahal, sebagian besar industri batik rumahan di Pekalongan membuang limbahnya ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu.
Imbasnya, air sungai menjadi tercemar dan tentu saja tidak dapat dimanfaatkan kembali. Lebih dari itu, air sungai yang telah tercemar jika nantinya meresap ke sumur sebagai sumber utama mata air untuk kehidupan sehari-hari, jika dikonsumsi terus-menerus, tentu dalam tempo lama akan berakibat fatal.
Mengenai penggunaan pewarna buatan ini, bahkan Pemerintah Jerman dan Belanda telah melarangnya. Karena, penggunaan pewarna yang terbuat dari bahan kimia, naphtol, maupun garam diazonium ternyata bisa menyebabkan kanker kulit. Oleh karena itulah, mengapa pewarna alami lebih dianjurkan penggunaannya, entah dalam makanan, pakaian, dan lain sebagainya, karena selain ramah lingkungan juga tidak menimbulkan efek samping.
Nah, penggunaan pewarna alami pada batik ternyata bisa menjadikan warna batik lebih sejuk untuk dipandang karena warna yang ditimbulkan juga tidak begitu mencolok pada mata kita. Untuk itu, tak aneh jika saat ini wisatawan, utamanya mancanegara, lebih meminati batik dengan pewarna alami dibanding batik dengan pewarna sintetis.
Manggis memperlancar bisnis
Salah satu pewarna batik alami yang bisa dipakai adalah dengan menggunakan bahan kulit manggis. Pembuatan penggunaan pewarna batik alami dari kulit manggis ini tentunya penting diketahui khalayak umum, khususnya perajin batik. Hal ini dikarenakan proses pembuatannya sederhana, juga bahan bakunya mudah didapatkan.
Garcinia mangostana (nama Latin manggis) yang banyak ditemukan di negeri kita ternyata mengandung flavan-3, 4-diols, yang tergolong senyawa tanin, dan dapat digunakan sebagai pewarna alami pada kain. Tanin adalah salah satu zat warna yang terdapat dalam berbagai tumbuhan dan yang paling baik adalah dalam manggis.
Ketika bereaksi dengan logam, tanin membentuk zat warna mordan. Untuk mendapatkan warna kuning hingga coklat, yang sering digunakan pada batik tradisional, tentunya dapat menggunakan kulit manggis yang kaya akan tanin tersebut. Hal yang perlu dilakukan dalam proses pembuatannya cukup sederhana. Pertama, manggis dipisahkan dari kulitnya, kemudian kulit dikeringkan. Setelah kering, kemudian dihaluskan supaya dalam ekstraksi bisa mendapatkan hasil yang sempurna.
Proses kedua adalah melarutkan kulit manggis yang telah dihaluskan kedalam petroleum eter. Bahan-bahan dari tanaman biasanya mengandung lemak atau lilin yang sangat nonpolar. Petroleum eter termasuk senyawa nonpolar sehingga nantinya sering menyebabkan emulsi. Karena itulah, senyawa-senyawa ini perlu dipisahkan dari bahan tanaman dengan cara perkolasi atau solletsasi bahan tanaman dengan petroleum eter.
Proses yang ketiga setelah lemak dipisahkan adalah melarutkan ekstrak manggis dengan eta-nol 95 persen. Penggunaan etanol ini dikarenakan etanol merupakan pelarut organik yang bisa digunakan dalam mengekstraksi senyawa alkaloid dari berbagai tumbuhan. Dan tenang saja, etanol ini lebih ramah lingkungan dibanding dengan metanol sehingga aman digunakan meskipun termasuk bahan kimia.
Proses selanjutnya adalah larutan basa berair diekstrak dengan kloroform. Proses ini dimaksudkan untuk memisahkan tanin dengan senyawa-senyawa lain sehingga nantinya didapatkan senyawa tanin yang kemudian diuapkan untuk menghasilkan kristal berwarna coklat. Nah, kristal inilah yang nantinya digunakan sebagi pewarna batik melalui pencelupan warna.
Selain kulit manggis, sesungguhnya masih banyak lagi pewarna lain yang bisa digunakan, seperti kunyit, kulit rambutan, kulit- kulit pohon, dan lain-lain yang sifatnya selama ini terbuang. Hal ini tentunya selain meminimalkan limbah alam, juga secara otomatis meningkatkan nilai guna produk-produk alam. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Selain memanfaatkan limbah manggis, kita juga sekalian bisa ikut andil melestarikan lingkungan di tengah “kerusakan global” saat ini. Tentu ini hanya salah satu jalan untuk keluar dari permasalahan global kelesuan industri batik. Namun, paling tidak hal ini bisa menjadi stimulus bagi stakeholder lainnya untuk berkiprah mencari solusi lainnya dalam rangka mengangkat derajat perajin batik dari keterpurukan
1. KEKUATAN
  1. Kekuatan apa yg dimiliki bangsa kita, kok yo’o hak milik indonesia yang berharga satu persatu di klaim milik Malaysia??? banyak kasus, seperti malaysia akui “Reog, lagu RAsa sayange, batik…dsb” walau akhirnya dapat kita ambil lagi hak tersebut dengan pengakuan Malaysia yg menyesal dan mengakui kalau yang di curi tersebut adalah milik Indonesia Asli termasuk kebudaydengan
  2. Dengan kekuatan  modal tekun, keuletan, serta bantuan dari pemerintah, industrinya tersebut mampu bertahankan batik sampai ke generasi berikutnya
  3. Menjadi daya tarik para turis atau Negara-negara maju untuk melihat
lihat ciri khas kebudayaan asli Indonesia yang berasal dari jawa

2. KELEMAHAN
  1. a. Generasi muda yang di jaman modern ini tidak mau melestarikan kebudayaan batik kembali
  2. b. Kebudayaan batik melemah karna sulitnya ekonomi (krismon) untuk menjadi modal utama mereka pembuatan batik
  3. c. Kurangnya dari Negara Indonesia untuk memproduksi kebudayaan batik sampai ke luar negeri

3. PELUANG
  1. a. Kebudayaan batik sudah menjadi suatu kebutuhan untuk sebagian atau bahkan hampir menyeluruh pemakaian busana batik ini mendominasi di negara kita, seperti halnya perusahaan – perusahaan BUMN dan tidak menutup kemungkinan perusahan swasta yang mengkhususkan memakai busana batik untuk hari-hari tertentu.
  2. b. Menjadi peluang usaha bagi para pengusahawan yang mempasok produksi batiknya sampai ke Negara-negara luar
  3. c. Pemakaian busana batik ini bisa juga digunakan untuk banyak acara, seperti apabila kita diundang oleh kerabat dan relasi kita, paling tidak yang ada di benak kita adalah busana berkerah rapi dengan bawahan gelap atau busana batik

4. TANTANGAN
  1. Ikutnya Negara luar dalam memproduksi kebudayaan batik yang menjadi masalah bagi pengusaha dari indonesia
  2. perkembangan batik di Indonesia sebagai warisan budaya yang memiliki nilai ekonomi untuk membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat.
  3. Persoalan lain yang menjadi tantangan perkembangan batik ke depan adalah masih minimnya akses informasi dan akses pasar. Ia juga mengkritisi sebagian besar perajin batik yang masih menggunakan zat warna kimia dan penanganan limbahnya belum dilakukan dengan benar sehingga mencemari lingkungan. Belum lagi, lanjut dia, ketersediaan kain sutera sebagai bahan baku batik masih terbatas.
BAB III
KESIMPULAN dan REKOMENDASI TANTANGAN
KESIMPULAN
Hasil kajian ini akhirnya memperlihatkan bahwa pasar terhadap produk yang dihasilkan oleh usaha kerajinan batik melalui pengembangan kedua model ternyata masih sangat terbuka, baik untuk memenuhi permintaan yang datang dari pasar lokal, maupun permintaan yang datang dari pasar ekspor.Sedangkan kajian terhadap aspek teknologi dan produksinya menunjukkan bahwa bilamana kedua model dikembangkan maka secara teknis bahan baku dan bahan- bahan pembantu serta sarana dan prasarana yang diperlukan cukup tersedia di lokasi pengembangan, teknis produksinya relatif telah dikuasai oleh kebanyakan masyarakat pembatikan didaerah kajian. Pelaksanaanya juga tidak memerlukan bantuan tenaga ahli yang harus didatangkan dari luar daerahSekalipun secara pemasaran, teknologi/produksi dan segi keuangan kedua model ini layak dikembangkan, diwaktu yang akan datang ada kemungkinan sektor pembatikan akan mengalami kendala. Kendala ini berkaitan upaya pemecahan masalah limbah pembilasan produk batik yang belum diatasi. Bilamana masalah limbah pembatikan ini tidak segera dicarikan pemecahannya maka ada kemungkinan produk batik ekspor akan menghadapi hambatan disebabkan karena masalah lingkungan.